Berbeda dengan
sulungku, bungsuku memang boleh dikatakan ‘anak mama’. Ia tak bisa lepas
dariku. Itu tentu agak menyulitkan bagiku di hari pertamanya masuk sekolah di
taman kanak-kanak. Ia sangat takut saat
tahu akan jauh dariku, sehingga membuatnya enggan masuk sekolah. Ia menangis
dan memelukku erat-erat ketika akan kuantar berangkat. Aku berusaha
menenangkannya. Kuberi pengertian bahwa sekolah itu menyenangkan. Akan banyak
teman. Akan bertemu dengan guru yang baik,
yang akan mengajari menyanyi, bercerita, dan menggambar. Akan banyak
ajang permainan. Namun ternyata itu tak mampu menghilangkan ketakutannya akan
sekolah.
Dengan penuh
kesabaran, akhirnya ia berhasil juga kubujuk berangkat. Kami bersama-sama
berjalan kaki karena jarak sekolah yang dekat dengan rumah. Sepanjang
perjalanan, kuajak ia mengobrol tentang betapa menyenangkannya saat di sekolah
nanti. Sebentar-bentar kulirik ia. Raut mukanya masih saja menyiratkan
ketakutan.
Ternyata kami
terlambat tiba di sekolah. Ketika kami sampai, anak-anak sudah berbaris
mendengarkan ceramah pengenalan tentang lingkungan sekolah, kegiatan di
sekolah, serta nama-nama ibu guru yang mengajar. Bungsuku pun menyusul pada
barisan belakang. Tetapi eh tetapi, lha kok aku disuruhnya menemani dalam
barisan. Air matanya sudah menggenang saja. Kalau kutinggal, pasti sudah pecah
tangisnya. Dengan terpaksa aku ikut berbaris di belakangnya.
Acara
perkenalan selesai. Anak-anak masuk ke kelas masing-masing. Bungsuku masih saja
menggenggam erat gandengan tanganku. Ia tetap tak mau berpisah dariku. Ia
menangis keras-keras ketika ibu guru memintanya duduk sendiri. Terpaksa ibu
guru mengizinkanku masuk menemaninya.
Di dalam
kelas, wajah bungsuku masih saja ketakutan. Namun lambat-laun ketakutannya
berangsur hilang. Mungkin ia merasa nyaman karena ada aku di sampingnya. Dengan
sabar kubimbing ia untuk mengikuti apa yang diajarkan ibu guru. Mengikuti gerakan
tangan ibu guru, menyanyi bersama-sama dengan teman-temannya, juga menjawab
beberpa pertanyaan ringan dari ibu guru. Syukurlah, ibu guru pun sangat sabar
dan penuh kasih membimbing anak-anak didiknya. Tampak sekali ia sudah
berpengalaman menangani anak-anak usia dini. Melihat wajah ketakutan bungsuku
yang memudar, aku mencoba menjauh. Keluar. Menunggunya di depan pintu.
Tak sampai
lima menit, terdengar suara bungsuku memanggil-manggil namaku. Aku pura-pura saja
tak mendengarnya. Lhadalaaah..., ia langsung menangis. Bangkit dari
kursinya, bergegas menyusulku. Walhasil, jadilah aku menemaninya sepanjang
kegiatannya di kelas sampai waktunya pulang.
Di rumah, aku
dan ayahnya terus membesarkan hatinya. Mengajaknya bernyanyi seperti yang
diajarkan di sekolah, menirukan gerakan-gerakan permainan yang diajarkan ibu guru,
menceritakan betapa tak ada yang perlu dicemaskan di taman kanak-kanak.
Di hari kedua, mungkin
karena ia telah merasakan sendiri bahwa memang tidak ada yang perlu dicemaskan
di sekolah, sikapnya pun melunak. Namun ia terlihat masih ogah-ogahan
berangkat. Kami pun terlambat lagi.
Seperti hari
pertama, aku harus menemaninya di kelas. Sikapnya tegang. Ibu guru tentu
melihat hal itu. Karena pengalamannya menangani berbagai tipe anak usia dini,
ia pun segera bertindak. Ia memancing reaksi anak-anak tentang ular.
“Anak-anak, di
depan sekolah kita itu apa ya? Yang banyak pohonnya itu lho?” tanya ibu guru.
“Kebuuun,”
jawab hampir semua anak.
“Tahu tidak, di
kebun itu ada ularnya. Panjang sekali. Anak-anak takut ular tidak?”
“Takuuut”
“Kalau takut,
boleh tidak ibu tutup kelasnya? Biar ularnya tidak masuk. Ibunya biar jaga di
luar kelas, jangan sampai ularnya masuk. Boleh, Anak-anak?”
“Boleeeeh,”
jawab anak-anak serentak.
Maka, aku pun
beringsut keluar. Wow, cara ibu guru ternyata efektif. Anakku akhirnya mau
berada di kelas sendiri. Lambat laun, ia pun menikmati kegiatannya di kelas. Ia
mau maju ketika disuruh menyanyi di depan kelas dengan dua temannya. Tentu saja
dengan bimbingan ibu guru. Ia juga mengacungkan telunjuknya ketika ada
pertanyaan dengan jawaban “saya”. Wajahnya berubah ceria. Sewaktu ibu guru
bercerita, bungsuku sesekali tertawa. Rupanya ia geli melihat cara ibu guru
memperagakan beberapa hewan di hutan.
Melihat cara
ibu guru menangani anak-anak dalam dua hari ini membuatku kagum saja. Ternyata
benar, menjadi ibu guru anak usia dini memerlukan kesabaran, kasih-sayang, dan
teknik-teknik khusus yang tentu saja membutuhkan pengalaman. Salut buat ibu
guru!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar