Halaman

Sabtu, 27 Juli 2013

Berbagi dengan Anak Yatim dan Dhuafa



Bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat diberkahi. Segala amal ibadah kita akan dilipat gandakan pahalannya. Di bulan ini, semua berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan.
Di sekolah-sekolah, muatan agama ditingkatkan. Anak-anak memperbanyak mengaji dan mendalami ilmu agama. Mereka juga dilatih untuk meningkatkan kepekaan sosial mereka, dengan saling tolong menolong dan berbagi dengan para dhuafa. Begitupun di TK bungsuku, TK. Dharma Wanita Persatuan Siwalanpanji Buduran Sidoarjo.
Sabtu, 27 Juli 2013, TK bungsuku mengunjungi Panti Asuhan Anak Yatim dan Dhuafa Al Firdaus di Desa Siwalanpanji RT. 10 RW. 03 Buduran Sidoarjo. Kegiatan berbagi ini memang sudah rutin dilakukan TK Dharma Wanita Persatuan Siwalanpanji pada bulan Ramadhan. Dua tahun terakhir, kegiatan berbagi dilakukan di panti asuhan.
Dari rumah, anak-anak dengan dukungan wali murid, masing-masing membawa bingkisan yang tidak ditentukan besarnya. Semua terserah kepada masing-masing wali murid. Ada yang membawa mie instan, gula, sabun cuci, sabun mandi, pakaian, juga uang.
Rombongan berangkat dari sekolah pukul 08.00 WIB dengan berjalan kaki. Anak-anak memakai seragam busana muslim, sedangkan para wali murid yang mengiringi di barisan belakang pun dihimbau mengenakan busana muslim.
Tiba di lokasi, rombongan disambut Ibu Nyai, istri dari Bapak KH. Imam Ghozali, pengasuh Yayasan Al-Firdaus. Dilanjutkan acara sambutan dari pihak yayasan dan sekolah. Pukul 08.45, Ketua Yayasan baru bisa menyambut dengan penuh haru dan ucapan  terima kasih. Beliau kemudian memberikan sedikit tausiah tentang kehidupan keluarga Rasul yang selalu penuh kasih sayang terhadap anak-anak yatim dan kaum dhuafa. Beliau juga sangat bersyukur, Yayasan Al-Firdaus saat ini telah mampu membantu dua orang anak asuhnya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini berkat bantuan beberapa donatur.
Mendengarkan ceramah sambutan
Tausiah Pengasuh Yayasan
Di akhir acara, dilakukan penyerahan bantuan secara simbolis kepada pihak yayasan oleh perwakilan murid, wali murid, dan Kepala TK. Kemudian semua saling bersalam-salaman dengan para anak yatim dan dhuafa yang sudah berjejer di depan. Rombongan meninggalkan yayasan pukul 09.45 dengan disertai ucapan terima kasih dari pihak yayasan.
Penyerahan bantuan secara simbolis dari Kepala TK

Penyerahan bantuan secara simbolis dari perwakilan wali murid
Semoga acara seperti ini tetap dapat berlangsung setiap tahun. Anak-anak akan mengingatnya sebagai pelajaran akhlakul karimah yang berharga dan dapat diteladani sepanjang hidupnya kelak.

Selasa, 16 Juli 2013

Salut buat Ibu Guru



Berbeda dengan sulungku, bungsuku memang boleh dikatakan ‘anak mama’. Ia tak bisa lepas dariku. Itu tentu agak menyulitkan bagiku di hari pertamanya masuk sekolah di taman kanak-kanak.  Ia sangat takut saat tahu akan jauh dariku, sehingga membuatnya enggan masuk sekolah. Ia menangis dan memelukku erat-erat ketika akan kuantar berangkat. Aku berusaha menenangkannya. Kuberi pengertian bahwa sekolah itu menyenangkan. Akan banyak teman. Akan bertemu dengan guru yang baik,  yang akan mengajari menyanyi, bercerita, dan menggambar. Akan banyak ajang permainan. Namun ternyata itu tak mampu menghilangkan ketakutannya akan sekolah.
Dengan penuh kesabaran, akhirnya ia berhasil juga kubujuk berangkat. Kami bersama-sama berjalan kaki karena jarak sekolah yang dekat dengan rumah. Sepanjang perjalanan, kuajak ia mengobrol tentang betapa menyenangkannya saat di sekolah nanti. Sebentar-bentar kulirik ia. Raut mukanya masih saja menyiratkan ketakutan.
Ternyata kami terlambat tiba di sekolah. Ketika kami sampai, anak-anak sudah berbaris mendengarkan ceramah pengenalan tentang lingkungan sekolah, kegiatan di sekolah, serta nama-nama ibu guru yang mengajar. Bungsuku pun menyusul pada barisan belakang. Tetapi eh tetapi, lha kok aku disuruhnya menemani dalam barisan. Air matanya sudah menggenang saja. Kalau kutinggal, pasti sudah pecah tangisnya. Dengan terpaksa aku ikut berbaris di belakangnya.
Acara perkenalan selesai. Anak-anak masuk ke kelas masing-masing. Bungsuku masih saja menggenggam erat gandengan tanganku. Ia tetap tak mau berpisah dariku. Ia menangis keras-keras ketika ibu guru memintanya duduk sendiri. Terpaksa ibu guru mengizinkanku masuk menemaninya.
Hari pertama, tegang

 Di dalam kelas, wajah bungsuku masih saja ketakutan. Namun lambat-laun ketakutannya berangsur hilang. Mungkin ia merasa nyaman karena ada aku di sampingnya. Dengan sabar kubimbing ia untuk mengikuti apa yang diajarkan ibu guru. Mengikuti gerakan tangan ibu guru, menyanyi bersama-sama dengan teman-temannya, juga menjawab beberpa pertanyaan ringan dari ibu guru. Syukurlah, ibu guru pun sangat sabar dan penuh kasih membimbing anak-anak didiknya. Tampak sekali ia sudah berpengalaman menangani anak-anak usia dini. Melihat wajah ketakutan bungsuku yang memudar, aku mencoba menjauh. Keluar. Menunggunya di depan pintu.
Tak sampai lima menit, terdengar suara bungsuku memanggil-manggil namaku. Aku pura-pura saja tak mendengarnya. Lhadalaaah..., ia langsung menangis. Bangkit dari kursinya, bergegas menyusulku. Walhasil, jadilah aku menemaninya sepanjang kegiatannya di kelas sampai waktunya pulang.
Di rumah, aku dan ayahnya terus membesarkan hatinya. Mengajaknya bernyanyi seperti yang diajarkan di sekolah, menirukan gerakan-gerakan permainan yang diajarkan ibu guru, menceritakan betapa tak ada yang perlu dicemaskan di taman kanak-kanak.
Di hari kedua, mungkin karena ia telah merasakan sendiri bahwa memang tidak ada yang perlu dicemaskan di sekolah, sikapnya pun melunak. Namun ia terlihat masih ogah-ogahan berangkat. Kami pun terlambat lagi.
Seperti hari pertama, aku harus menemaninya di kelas. Sikapnya tegang. Ibu guru tentu melihat hal itu. Karena pengalamannya menangani berbagai tipe anak usia dini, ia pun segera bertindak. Ia memancing reaksi anak-anak tentang ular.


“Anak-anak, di depan sekolah kita itu apa ya? Yang banyak pohonnya itu lho?” tanya ibu guru.

“Kebuuun,” jawab hampir semua anak.
“Tahu tidak, di kebun itu ada ularnya. Panjang sekali. Anak-anak takut ular tidak?”
“Takuuut”
“Kalau takut, boleh tidak ibu tutup kelasnya? Biar ularnya tidak masuk. Ibunya biar jaga di luar kelas, jangan sampai ularnya masuk. Boleh, Anak-anak?”
“Boleeeeh,” jawab anak-anak serentak.

Maka, aku pun beringsut keluar. Wow, cara ibu guru ternyata efektif. Anakku akhirnya mau berada di kelas sendiri. Lambat laun, ia pun menikmati kegiatannya di kelas. Ia mau maju ketika disuruh menyanyi di depan kelas dengan dua temannya. Tentu saja dengan bimbingan ibu guru. Ia juga mengacungkan telunjuknya ketika ada pertanyaan dengan jawaban “saya”. Wajahnya berubah ceria. Sewaktu ibu guru bercerita, bungsuku sesekali tertawa. Rupanya ia geli melihat cara ibu guru memperagakan beberapa hewan di hutan.
Hari kedua, mulai enjoy


Melihat cara ibu guru menangani anak-anak dalam dua hari ini membuatku kagum saja. Ternyata benar, menjadi ibu guru anak usia dini memerlukan kesabaran, kasih-sayang, dan teknik-teknik khusus yang tentu saja membutuhkan pengalaman. Salut buat ibu guru!