Halaman

Minggu, 03 November 2013

Rekreasi ke Pemandian Telogo Sewu Pandaan

Di Pandaan, Pasuruan, banyak dijumpai tempat pemandian yang airnya didapat dari sumber air alami. Tak mengherankan, karena lokasinya yang dekat dengan pegunungan. Salah satunya adalah Pemandian Telogo Sewu yang terletak di Desa Duren Sewu Pandaan.

Senin, 4 November 2013, rombongan TK Dharma Wanita Persatuan Siwalanpanji mengadakan acara rekreasi ke Telogo Sewu.
Berangkat dari sekolah sekitar pukul 07.20 WIB dengan menggunakan Bus. Anak-anak terlihat senang sepanjang perjalananan. Namun sungguh disayangkan, Pak Sopir dan Kernetnya kurang tanggap, atau bahkan tak mau tahu, kalau penumpang mereka adalah anak-anak yang tergolong balita. Sepanjang perjalanan, anak-anak malah disuguhi totonan VCD dangdut pantura, di mana kostum yang dikenakan biduannya dan lirik yang didendangkan sangat tidak pantas untuk dikonsumsi anak-anak. Fiuhhh! Protes pun rasanya tak ada gunanya.

Ternyata lokasinya masuk jauh ke dalam desa. Jalanan desa yang sempit mungkin hanya bisa dilalui satu arah saja oleh kendaraan besar seperti bus. Di kanan kiri jalan sudah dipadati rumah-rumah penduduk yang tampak saling berdekatan. Tak diragukan lagi, Desa Duren sewu adalah desa padat penduduk.

Rombongan tiba di lokasi sekitar pukul 08.15 WIB. Bus harus diparkir di luar area tempat wisata, tak jauh dari lokasi. Rombongan pun harus berjalan kaki untuk mencapai tempat pemandian. Kesan pertama melihat lokasi wisata dari kejauhan, lumayanlah. Meski tak bisa dibilang elegan, setidaknya cukup untuk memberi hiburan masyarakat yang butuh refreshing. Harga tiket pun tergolong murah, yakni sebesar Rp. 7.000- saja per orang.

Di dalam lokasi, terdapat empat kolam renang yang masing-masing terbagi menurut usia dan tinggi pengunjung yang akan memanfaatkannya. Di sebelah kanan dekat pintu masuk, ada arena perahu kayuh yang tidak terlalu luas. Untuk menaiki perahunya, pengunjung harus membayar lagi sebesar Rp. 6.000,-. Namun yang menyenangkan bagi anak-anak, tentu saja karena ada arena bermain seperti yang biasa terdapat di TK, semisal papan seluncur, ayunan, papan jungkat-jungkit, papan titian, dan lain-lain.

Pemandian Telogo Sewu juga menyediakan arena outbound. Pengunjung tentu saja masih harus membayar biaya tambahan untuk bisa menikmatinya.

Fasilitas mushalla dan pujasera juga mampu memberi kenyamanan pengunjung. Lebih-lebih karena harga makanan yang dijual relatif murah meriah. Nilai plus tempat wisata ini juga didapat dari tersedianya tempat tunggu secara lesehan yang sangat luas, bernaung di bawah tenda atau terpal, yang mampu menampung banyak pengantar yang tidak ikut berenang. Lingkungan yang dipenuhi pepohonan rindang pun bosa membuat betah pengunjung.

Siang hari, setelah cukup menghabiskan waktu di dalam tempat wisata ini, rombongan pun pulang kembali ke Sidoarjo. Anak-anak terlihat sudah banyak yang mengantuk. Namun ketika ditanya apakah mereka menikmati mengunjungi Teloho Sewu, serempak mereka menjawab 'Ya'.
Kalau begitu, bolehlah kapan-kapan kembali lagi, hehe.

Kamis, 15 Agustus 2013

Ke Semarang: Kuil Sam Poo Kong yang Eksotik



Aku lahir dan besar di Semarang. Namun sekarang mengikuti suami di Jawa Timur. Meski demikian, belum pernah sekalipun mengunjungi Kuil Sam Poo Kong yang terkenal sebagai objek wisata di Kota Semarang. Padahal keinginan untuk berkunjung ke kuil itu sudah mengakar sejak lama. Lebih-lebih setelah banyak teman mengunggah foto-foto mereka di Facebook saat berada di kuil tersebut, hasrat untuk berwisata ke Kuil Sam Poo Kong makin tak terbendung. Gambar kuil itu sangat indah dan eksotik.
Hasratku baru tersampaikan saat mudik Lebaran tahun 2013 ini. Di hari ketiga, beserta suami dan anak-anak, kami memaksakan diri menginjungi Kuil Sam Po Kong. Waktu perjalanan dari Semarang Tugu, rumah ibuku, tak terlalu lama untuk sampai ke tempat tujuan. Kira-kira hanya 25 menit. Kuil Sam Poo Kong terletak di sekitar Simongan Semarang. Beruntung jalanan tidak terlalu macet. Mungkin karena masih dalam suasana Lebaran, kota Semarang agak lengang. Kami sampai di sana sekitar pukul 10.30.
Memang benar, ketika kami sampai, suasana eksotik sudah terasa. Bangunan dan tembok pagar yang berwarna merah terang sudah terlihat cukup mencolok. Kami memarkirkan mobil di tempat parkir yang cukup luas, lalu membeli tiket masuk seharga Rp. 3.000,- per orang, ditambah biaya parkir mobil Rp.  3.000,-.
Pengunjung cukup banyak. Tidak hanya dari warga etnis Tinghoa saja, warga pribumi pun banyak yang tertarik mengunjungi kuil ini. Sebagian besar dari luar kota Semarang. Daya tarik kuil ini memang kuat.
Salah Satu Kuil Utama

Lampion-Lampion Cantik

Begitu masuk ke dalam area, kami seolah-olah berada di negeri China. Lampion-lampion merah menjuntai menghiasi bangunan kuil dan pepohonan rindang tak jauh dari pintu masuk. Indah dan membuat mulut berdecak kagum. Terlihat tiga bangunan utama. Satu bangunan bebas dimasuki pengunjung, sedangkan dua bangunan lainnya adalah bangunan untuk beribadah, dan tentu saja tidak bisa bebas memasukinya. Harus dengan izin lebih dulu.
Kuil untuk Sembahyang

Di salah satu sudut bangunan utama, berdiri kokoh Patung Laksamana Cheng Hoo, sebagai penghormatan napak tilas beliau yang pernah menjejakkan kaki di Semarang. Di belakang patung, berjajar lilin-lilin raksasa bergambar naga.
Berpose di Depan Lilin Raksasa

Kami tentu saja tak menyia-nyiakan waktu untuk berfoto-foto di hampir semua sudut kuil. Banyak pula fotografer yang asyik mencari objek foto menarik.
Bersantai di Tangga Kuil

Hari itu rupanya sedang ada bazar. Pengunjung bisa membeli berbagai suvenir cantik di gedung bazar. Pengunjung juga bisa berfoto mengenakan baju tradisional daratan Tiongkok dengan tarif Rp. 80.000,- per orang.
Sungguh, berada di Kuil Sam Poo Kong tidak merasakan bosan oleh keindahannya.

Sabtu, 27 Juli 2013

Berbagi dengan Anak Yatim dan Dhuafa



Bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat diberkahi. Segala amal ibadah kita akan dilipat gandakan pahalannya. Di bulan ini, semua berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan.
Di sekolah-sekolah, muatan agama ditingkatkan. Anak-anak memperbanyak mengaji dan mendalami ilmu agama. Mereka juga dilatih untuk meningkatkan kepekaan sosial mereka, dengan saling tolong menolong dan berbagi dengan para dhuafa. Begitupun di TK bungsuku, TK. Dharma Wanita Persatuan Siwalanpanji Buduran Sidoarjo.
Sabtu, 27 Juli 2013, TK bungsuku mengunjungi Panti Asuhan Anak Yatim dan Dhuafa Al Firdaus di Desa Siwalanpanji RT. 10 RW. 03 Buduran Sidoarjo. Kegiatan berbagi ini memang sudah rutin dilakukan TK Dharma Wanita Persatuan Siwalanpanji pada bulan Ramadhan. Dua tahun terakhir, kegiatan berbagi dilakukan di panti asuhan.
Dari rumah, anak-anak dengan dukungan wali murid, masing-masing membawa bingkisan yang tidak ditentukan besarnya. Semua terserah kepada masing-masing wali murid. Ada yang membawa mie instan, gula, sabun cuci, sabun mandi, pakaian, juga uang.
Rombongan berangkat dari sekolah pukul 08.00 WIB dengan berjalan kaki. Anak-anak memakai seragam busana muslim, sedangkan para wali murid yang mengiringi di barisan belakang pun dihimbau mengenakan busana muslim.
Tiba di lokasi, rombongan disambut Ibu Nyai, istri dari Bapak KH. Imam Ghozali, pengasuh Yayasan Al-Firdaus. Dilanjutkan acara sambutan dari pihak yayasan dan sekolah. Pukul 08.45, Ketua Yayasan baru bisa menyambut dengan penuh haru dan ucapan  terima kasih. Beliau kemudian memberikan sedikit tausiah tentang kehidupan keluarga Rasul yang selalu penuh kasih sayang terhadap anak-anak yatim dan kaum dhuafa. Beliau juga sangat bersyukur, Yayasan Al-Firdaus saat ini telah mampu membantu dua orang anak asuhnya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini berkat bantuan beberapa donatur.
Mendengarkan ceramah sambutan
Tausiah Pengasuh Yayasan
Di akhir acara, dilakukan penyerahan bantuan secara simbolis kepada pihak yayasan oleh perwakilan murid, wali murid, dan Kepala TK. Kemudian semua saling bersalam-salaman dengan para anak yatim dan dhuafa yang sudah berjejer di depan. Rombongan meninggalkan yayasan pukul 09.45 dengan disertai ucapan terima kasih dari pihak yayasan.
Penyerahan bantuan secara simbolis dari Kepala TK

Penyerahan bantuan secara simbolis dari perwakilan wali murid
Semoga acara seperti ini tetap dapat berlangsung setiap tahun. Anak-anak akan mengingatnya sebagai pelajaran akhlakul karimah yang berharga dan dapat diteladani sepanjang hidupnya kelak.

Selasa, 16 Juli 2013

Salut buat Ibu Guru



Berbeda dengan sulungku, bungsuku memang boleh dikatakan ‘anak mama’. Ia tak bisa lepas dariku. Itu tentu agak menyulitkan bagiku di hari pertamanya masuk sekolah di taman kanak-kanak.  Ia sangat takut saat tahu akan jauh dariku, sehingga membuatnya enggan masuk sekolah. Ia menangis dan memelukku erat-erat ketika akan kuantar berangkat. Aku berusaha menenangkannya. Kuberi pengertian bahwa sekolah itu menyenangkan. Akan banyak teman. Akan bertemu dengan guru yang baik,  yang akan mengajari menyanyi, bercerita, dan menggambar. Akan banyak ajang permainan. Namun ternyata itu tak mampu menghilangkan ketakutannya akan sekolah.
Dengan penuh kesabaran, akhirnya ia berhasil juga kubujuk berangkat. Kami bersama-sama berjalan kaki karena jarak sekolah yang dekat dengan rumah. Sepanjang perjalanan, kuajak ia mengobrol tentang betapa menyenangkannya saat di sekolah nanti. Sebentar-bentar kulirik ia. Raut mukanya masih saja menyiratkan ketakutan.
Ternyata kami terlambat tiba di sekolah. Ketika kami sampai, anak-anak sudah berbaris mendengarkan ceramah pengenalan tentang lingkungan sekolah, kegiatan di sekolah, serta nama-nama ibu guru yang mengajar. Bungsuku pun menyusul pada barisan belakang. Tetapi eh tetapi, lha kok aku disuruhnya menemani dalam barisan. Air matanya sudah menggenang saja. Kalau kutinggal, pasti sudah pecah tangisnya. Dengan terpaksa aku ikut berbaris di belakangnya.
Acara perkenalan selesai. Anak-anak masuk ke kelas masing-masing. Bungsuku masih saja menggenggam erat gandengan tanganku. Ia tetap tak mau berpisah dariku. Ia menangis keras-keras ketika ibu guru memintanya duduk sendiri. Terpaksa ibu guru mengizinkanku masuk menemaninya.
Hari pertama, tegang

 Di dalam kelas, wajah bungsuku masih saja ketakutan. Namun lambat-laun ketakutannya berangsur hilang. Mungkin ia merasa nyaman karena ada aku di sampingnya. Dengan sabar kubimbing ia untuk mengikuti apa yang diajarkan ibu guru. Mengikuti gerakan tangan ibu guru, menyanyi bersama-sama dengan teman-temannya, juga menjawab beberpa pertanyaan ringan dari ibu guru. Syukurlah, ibu guru pun sangat sabar dan penuh kasih membimbing anak-anak didiknya. Tampak sekali ia sudah berpengalaman menangani anak-anak usia dini. Melihat wajah ketakutan bungsuku yang memudar, aku mencoba menjauh. Keluar. Menunggunya di depan pintu.
Tak sampai lima menit, terdengar suara bungsuku memanggil-manggil namaku. Aku pura-pura saja tak mendengarnya. Lhadalaaah..., ia langsung menangis. Bangkit dari kursinya, bergegas menyusulku. Walhasil, jadilah aku menemaninya sepanjang kegiatannya di kelas sampai waktunya pulang.
Di rumah, aku dan ayahnya terus membesarkan hatinya. Mengajaknya bernyanyi seperti yang diajarkan di sekolah, menirukan gerakan-gerakan permainan yang diajarkan ibu guru, menceritakan betapa tak ada yang perlu dicemaskan di taman kanak-kanak.
Di hari kedua, mungkin karena ia telah merasakan sendiri bahwa memang tidak ada yang perlu dicemaskan di sekolah, sikapnya pun melunak. Namun ia terlihat masih ogah-ogahan berangkat. Kami pun terlambat lagi.
Seperti hari pertama, aku harus menemaninya di kelas. Sikapnya tegang. Ibu guru tentu melihat hal itu. Karena pengalamannya menangani berbagai tipe anak usia dini, ia pun segera bertindak. Ia memancing reaksi anak-anak tentang ular.


“Anak-anak, di depan sekolah kita itu apa ya? Yang banyak pohonnya itu lho?” tanya ibu guru.

“Kebuuun,” jawab hampir semua anak.
“Tahu tidak, di kebun itu ada ularnya. Panjang sekali. Anak-anak takut ular tidak?”
“Takuuut”
“Kalau takut, boleh tidak ibu tutup kelasnya? Biar ularnya tidak masuk. Ibunya biar jaga di luar kelas, jangan sampai ularnya masuk. Boleh, Anak-anak?”
“Boleeeeh,” jawab anak-anak serentak.

Maka, aku pun beringsut keluar. Wow, cara ibu guru ternyata efektif. Anakku akhirnya mau berada di kelas sendiri. Lambat laun, ia pun menikmati kegiatannya di kelas. Ia mau maju ketika disuruh menyanyi di depan kelas dengan dua temannya. Tentu saja dengan bimbingan ibu guru. Ia juga mengacungkan telunjuknya ketika ada pertanyaan dengan jawaban “saya”. Wajahnya berubah ceria. Sewaktu ibu guru bercerita, bungsuku sesekali tertawa. Rupanya ia geli melihat cara ibu guru memperagakan beberapa hewan di hutan.
Hari kedua, mulai enjoy


Melihat cara ibu guru menangani anak-anak dalam dua hari ini membuatku kagum saja. Ternyata benar, menjadi ibu guru anak usia dini memerlukan kesabaran, kasih-sayang, dan teknik-teknik khusus yang tentu saja membutuhkan pengalaman. Salut buat ibu guru!